Analisis Yuridis Status Hukum Istri yang Menikah di Bawah Tangan Berdasarkan Ketentuan yang Berlaku Tentang Perkawinan

Analisis Yuridis Status Hukum Istri yang Menikah di Bawah Tangan Berdasarkan Ketentuan yang Berlaku Tentang Perkawinan

 

A.     Kedudukan perkawinan di bawah tangan menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia

Analisis Berdasarkan Undang-undang Perkawinan

UU RI tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: “(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan.

Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975.

Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU.

Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Perkawinan yang telah melalui pencatatan adanya kemaslahatan bagi umum, artinya kaum wanita terlindungi hak asasinya, tidak dilecehkan. Sebab menurut hukum positif Indonesia, nikah di bawah tangan  itu tidak diakui sama sekali. Adanya ikatan perkawinan diakui secara hukum hanya jika dicatat oleh petugas yang ditunjuk. Jadi, di dalam struktur Kantor Urusan Agama itu ada petugas pencatatan Nikah (PPN) yang kita sebut penghulu. Penghulu itu yang bertanggung jawab untuk mencatat, bukan menikahkan. Terkadang ada salah tafsir bahwa penghulu itu menikahkan. Tapi, dia juga bisa bertindak menjadi naibul wali ketika wali menyerahkan untuk memimpin kewaliannya itu. Namun itu harus ada serah terima dari wali yang sesungguhnya. Tidak bisa dia mengangkat dirinya menjadi wali. Apalagi pihak lain yang mencoba untuk memposisikan dirinya sebagai penghulu,  yang tidak ada surat keputusannya sebagai penghulu.Perkawinan di bawah tangan bukan merupakan perkawinan yang sah dihadapan hukum dan negara, hanya sah menurut agama karena terpenuhinya rukun nikah. Sehingga banyak pendapat ahli hukum dan sarjana hukum berpendapat bahwa perkawinan di bawah tangan adalah sah hanya kurang dalam pencatatan perkawinan atau syarat administratif saja.Tetapi bila melihat dari Pasal 2 ayat  harus dibaca sebagai satu kesatuan, artinya perkawinan yang sah adalah yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan itu dan harus dicatatkan sebagaimana diatur dalam Pasal 100 KUHPer, G.Pudja.,1974:24-25, Pasal 4 HPAB (Hukum Perkawinan Agama Budha), dan Pasal 34 HOCI, akta perkawinan merupakan bukti satu-satunya adanya suatu perkawinan.

Dari penjelasan-penjelasan tersebut jelaslah bahwa sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat 2 yang berbunyi:

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

 

Analisis Nikah di bawah tangan menurut pandangan Hukum Islam

Allah SWT menginginkan hambanya dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya melalui prosedur yang legal, yaitu melalui proses akdun nikah (upacara akad nikah). Nikah dalam Islam ini begitu sangat sakral. Apa sebetulnya yang diinginkan syariat Islam? Adalah ingin melindungi hak-hak asasi dari masing-masing pihak, baik dari suami apalagi istri, dan keluarga besar dari kedua belah pihak. Sehingga di situ diatur ada proses ijab kabul, yang merupakan implementasi penyerahan sepenuhnya dari pihak wali, dalam hal ini bapak kandungnya atau yang mewakilinya, bahwa dia telah mengurus dari kecil, dan setelah besar mau diserahkan dari ujung rambut sampai ujung kaki kepada calon suaminya. Ijab kabul itu tidak bermain-main. Makanya, ayyakunal aqdu mubasyaratan, hendaklah akad tersebut dilakukan secara langsung.
Lalu ada saksi-saksi. Yang kita tangkap dari dua saksi itu adalah Islam menghendaki akad nikah ini disosialisasikan bukan hanya dua saksi itu saja yang tahu. Makna dua saksi dalam pernikahan yang adil, tidak fasik, dia akan memberitakan kepada pihak lain bahwa benar yang bersangkutan adalah suami  sehingga pihak lain yang mencoba-coba untuk masuk, tidak berhak karena sudah tertutup.

Berkenaan dengan kawin di bawah tangan pendapat kiai terkemuka tokoh MUI Kyai Ma’ruf menegaskan, bahwa hukum nikah yang awalnya sah karena memenuhi syarat dan rukun nikah, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Jadi, ”Haramnya itu datangnya belakangan. Pernikahannya sendiri tidak batal, tapi menjadi berdosa karena ada orang yang ditelantarkan, sehingga dia berdosa karena mengorbankan istri atau anak. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban. Inilah uniknya,” ujarnya. Lalu beliau menganjurkan untuk mengantisipasinya, dalam Fatwa tersebut, MUI menganjurkan agar pernikahan di bawah tangan itu harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang. Hal ini sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif/mudharat. Dengan adanya pencatatan ini, maka pernikahan ini baik secara hukum agama maupun hukum negara menjadi sah. Penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak terutama soal pembagian harta waris, pengakuan status anak dan jika ada masalah, istri memiliki dasar hukum yang kuat  untuk menggugat suaminya.

 

B.     Akibat hukum terhadap status anak dan harta yang dihasilkan dalam perkawinan

Akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan, meski secara agama atau kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah di mata hukum Negara. Akibat hukum perkawinan tersebut berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan.

Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi,”.

Secara sosial, sang istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan di bawah tangan, sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan  atau dianggap menjadi istri simpanan.

Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.

Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah, akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.

Bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya. Yang jelas-jelas sangat merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya. Perkawinan di bawah tangan berdampak mengkhawatirkan atau merugikan, kecuali jika kemudian perempuan tersebut melakukan perkawinan yang sah.

Anak hasil perkawinan dibawah tangan dianggap anak tidak sah, apabila terjadi perkawinan sah anak hanya diakui. Sedangkan anak yang lahir di dalam perkawinan di bawah tangan dikatakan anak yang disahkan karena hanya ada pengakuan dari ayah anak tersebut dan harus disertai putusan pengadilan..

 

Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan

a.       Perkawinan dianggap tidak sah

Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.

b.      Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibu dan keluarga Ibu.
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.

c.       Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan.
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.

Harta yang didapat dalam perkawinan dibawah tangan hanya dimiliki oleh masing-masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta gono-gini / harta bersama

 

C. Faktor-faktor penyebab perkawinan di bawah tangan

Setiap warga Negara hendaknya melaksanakan setiap peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebab semua peraturan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk kepentingan masyarakat demikian juga dalam hal perkawinan.

Adapun pengertian dari perkawinan di bawah tangan adalah, suatu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak memenuhi Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 dan tata cara perkawinan menurut PP No. 9 Tahun 1975. Mereka hidup sebagai suami istri tanpa mempunyai kutipan akta nikah, yang pelaksanan nikahnya itu dilaksanakan oleh pemuka agama di tempat perkawinan itu dilaksanakan.

Masih terdapat di anggota masyarakat yang perkawinannya dilaksanakan tanpa sepengatahuan Pegawai Pencatat Nikah. Adakalanya orang tua yang menganggap dirinya adalah seorang kyai atau pemuka agama, merasa bahwa tanpa kehadiran aparat yang berwenang juga sudah sah, menurut hukum agama Islam serta mereka menganggap hal tersebut hanyalah hal yang sifatnya administratif saja.

Di beberapa media yang menginformasikan tentang nikah di bawah tangan atau yang biasanya disebut perkawinan agama diperbolehkan dan mereka menganggap bahwa perkawinan itu adalah sah. Adapun perkawinan semacam ini dilakukan baik oleh seorang laki-laki dan perempuan yang masih perjaka atau gadis, maupun yang dilakukan oleh orang-orang yang berkeinginan untuk berpoligami, yaitu suatu perkawinan antara seorang laki-laki yang lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Atau dapat berpoligami ini dilakukan tanpa sepengetahuan istri pertama.

Mengenai perkawinan poligami ini diperbolehkan sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dalam Surat Ann-nissa ayat 3, yang berbunyi:

“… maka nikahilah olehmu wanita yang kamu senangi dua, tiga, dan empat. Kemudian jika kamu takut akan dapat berlaku adil seyogyanyalah kamu kawin dengan seorang perempuan saja… perbuatan itulah yang lebih mendekati untuk kamu tidak berbuat aniaya”.

Undang-undang Perkawinan mengaturnya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 ayat 2 yang isinya:

“Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Berdasar hal tersebut ada beberapa orang yang melakukan perkawinan poligami, yang pelaksanaannya tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang sebagian besar mereka keberatan untuk melakukan secara resmi.

Diantaranya terdapat berbagai alasan yang mendasari perkawinan di bawah tangan adalah:

1.      Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya persetujuan dari isteri sebelumnya, maka orang tersebut melaksanakan perkawinan di bawah tangan, cukup dihadapan pemuka agama. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0705/03/hikmah/utama02.htm

2.      Dengan adanya PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990, dalam Pasal 4 ayat (1) diantaranya menyebutkan, bahwa pria yang berstatus Pegawai Negeri Sipil tidak boleh beristri lebih dari seorang, apabila itu terjadi wajib melapor dan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat atau pimpinannya. Dengan adanya PP No. 10 Tahun 1983 tersebut, mereka beranggapan bahwa dengan sulitnya persyaratan untuk poligami, maka terdapat (walaupun sedikit) pegawai negeri yang melaksanakan perkawinan dengan tidak melalui prosedur yang sebenarnya.

3.      Dikarenakan mereka masih awam, jadi adanya perasaan takut untuk berhadapan dengan pejabat nikah dan menganggap mereka lebih baik perkawinannya dilaksanakan di depan pemuka agama.

4.      Agama sering dijadikan dalil untuk melegitimasi keinginan – keinginan tertentu yang subjektif. “Padahal aturan agama juga sama jelasnya, bahwa Undang – Undang No.1 tahun 1974 berlaku untuk semua umat Islam, (http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/12/05/1344.html). Keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mensahkan pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari Forum Ijtima’ yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur, (http//hukumonline.com/detail.asp?id=15651&cl=Berita).

5.      Anggapan orang Indonesia  pada umumnya wanita yang tidak menikah ataupun belum menikah itu “kurang dihargai”. Daripada tidak menikah lebih baik menikah meskipun dengan pria yang sudah beristri walaupun tidak dicatat diKantor Urusan Agama.

Sebab-sebab itulah yang menjadi dasar perkawinan di bawah tangan di samping faktor sosial, budaya, ekonomi, agama, dan juga tingkat pendidikan yang masih rendah.

 

D. Upaya-upaya yang dapat dilakukan bila perkawinan bawah tangan sudah terjadi

1. Bagi yang Beragama Islam

a. Mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah

Bagi yang beragama Islam, namun tak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Pasal 7 KHI) Namun Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a. dalam rangka penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974. Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan di atas yang dapat dipergunakan, anda dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan.

Tetapi untuk perkawinan dibawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian.

Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan, jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang.Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak-anak

jangan lupa, bila telah memiliki Akte Nikah, harus segera mengurus Akte Kelahiran anak-anak anda ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akte kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada Pengadilan Negeri setempat. Dengan demikian, status anak-anak anda dalam akte kelahirannya bukan lagi anak luar kawin.Tetapi perkawinan yang dilakukan dibawah tangan tidak akan bisa membuat akte kelahiran  karena syarat pembuatan akte kelahiran yang sah adalah akta nikah.

 

b. Melakukan perkawinan ulang

Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan. Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.

Bila perkawinan di bawah tangan ingin diakhiri dan “dilegalkan”, ada dua cara, yaitu dengan mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah dan menikah ulang dengan mengikuti prosedur pencatatan KUA.

“Bagi yang beragama Islam pernikahan yang tidak dapat membuktikannya dengan akta nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/ pengesahan nikah) kepada pengadilan agama sesuai Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7.”

“Akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Biasanya untuk perkawinan di bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki akta nikah dari pejabat berwenang,”.

Walaupun sudah resmi memiliki akta, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan di bawah tangan sebelum pembuatan akta tersebut akan tetap dianggap sebagai anak di luar nikah, karena perkawinan ulang tidak berlaku terhadap status anak yang dilahirkan sebelumnya. 

2. Bagi yang beragama non-Islam (Kristen, Hindu dan Budha)

a. Perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan

Perkawinan ulang dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut. Penting untuk diingat, bahwa usai perkawinan ulang, perkawinan harus dicatatkan di muka pejabat yang berwenang. Dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan Sipil menolak menerima pencatatan itu, maka dapat digugat di PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara). http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm

b. Pengakuan anak

Jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan pasal 43 UU no 1 /1974 yang pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam pasal 284 KUH Perdata.

 

6 Komentar

  1. buat laporan kelompok KKL STIH Rahmaniyah sekayu.thank b4

  2. maksih bnyak nih bsa bwt bahan refren gw

  3. keren gan tulisannya izin ngunduh y…

    • mangga, sip kana perhatosanna

  4. siip” …

  5. apakah benar ada masa iddah buat laki-laki yang sudah bercerai?


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar