PEMULIHAN SEBAGAI HAK ISTRI KORBAN

PEMULIHAN SEBAGAI HAK ISTRI KORBAN


KEKERASAN SUAMI


 


            Rumah tangga seharusnya adalah tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga, akan tetapi pada kenyataannya justru banyak rumah tangga menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan karena terjadi tindak kekerasan. Semakin banyaknya kasus KDRT yang terjadi di masyarakat. Fakta tersebut terlihat dari berbagai pemberitaan di media massa dan kasus-kasus yang ditangani lembaga-lembaga yang peduli terhadap perempuan.


      Dengan meningkatnya jumlah kekerasan KDRT dan akibat yang timbul pada korban menyebabkan sebagian masyarakat mengharapkan upaya pemulihan korban KDRT perlu terus dilakukan, agar korban dapat kembali kepada keadaannya semula, pemulihan adalah hak yang harus didapatkan korban.


            Pengaturan kembali mengenai KDRT sehingga dapat lebih mencakup banyak kekerasan yang sampai kini belum dicakup dalam peraturan perundang-undangan.


            Diperlukan lembaga yang berskala nasional untuk memberikan perlindungan dan pemulihan  bagi korban KDRT, yang didukung oleh pekerja sosial, psikolog, ahli hukum, dokter. Lembaga ini nantinya dapat diharapkan mencapai tujuan dengan baik.


Dalam lembaga kepolisian diperlukan prosedur khusus dalam penanganan kasus KDRT, terutama dalam melibatkan anggota kepolisian wanita yang dikhususkan menangani kasus KDRT sehingga korban akan merasa nyaman pada saat melakukan pelaporan.


 


A.  Hak korban kekerasan dalam rumah tangga


Setelah disahkannya Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang menjadi hak–hak korban terdapat dalam Pasal 10 :


1)   Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,    advokat, lembaga sosial, atau pihak lain, baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;


2)      Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;


3)      Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;


4)      Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan


5)      Pelayanan bimbingan rohani.


Hak-hak korban yang dirumuskan pada pasal di atas merupakan hak khusus yang ditujukan untuk korban KDRT, yang semestinya bisa dinikmati oleh semua korban KDRT, baik yang melaporkan adanya kekerasan maupun yang tidak melaporkan. Hak-hak dalam undang-undang tersebut dapat meluas dalam prakteknya seperti yang dikemukakan oleh Achie S. Luhulima, yaitu:


1.      Hak perempuan untuk mendapatkan perlindungan aparat yang berwenang atas prilaku yang mungkin akan dilakukan si pelaku yang dilaporkan oleh korban. Jaminan perlindungan sangat penting untuk memastikan bahwa korban tersebut diperlakukan dengan simpatik dan hati-hati oleh penegak hukum, keselamatan dirinya dijamin, sehingga kesaksian yang diberikan dipastikan akan diperoleh untuk menghukum pelaku.


2.      Hak untuk mendapat pemulihan medis, yaitu penyembuhan luka fisik yang diderita korban dengan memberikan rujukan ke rumah sakit yang menyediakan pelayanan terpadu bagi korban KDRT psikis, hukum dan sosial, terutama untuk mengembalikan kepercayaan dirinya, serta untuk dapat menjalani prosedur hukum setelah mendapat informasi mengenai prosedur yang akan dijalani dalam proses peradilan pidana.


3.      Hak korban untuk memperoleh ganti kerugian atas kerugian yang dideritanya, baik dari pemerintah sebagai organisasi yang berkewajiban memberi perlindungan pada dirinya , maupun dari pelaku kejahatan yang telah menyebabkan kerugian yang luar biasa pada korban. Ketentuan yang mungkinkan korban mendapat ganti kerugian sangatlah kurang, terutama karena ganti kerugian yang diperkenankan adalah yang berkenaan dengan penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Seperti dalam kasus KDRT karena kerugian yang dialami sulit diukur dengan materi.


4.      Hak korban untuk mendapatkan informasi mengenal perkembangan kasus dan keputusan hakim, termasuk pula hak untuk diberitahu apabila pelaku telah dikeluarkan atau dibebaskan dari penjara, kalau dia dihukum karena bukti yang kurang kuat.


5.   Pelayanan bimbingan rohani, bimbingan rohani dilakukan oleh pembimbing rohani dengan cara memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajibannya, serta penguatan iman dan takwa sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.


      Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pembimbing rohani melakukan upaya :


            1.   Menggali informasi dan mendengarkan keluh kesah dari korban;


2.   Mempertebal keimanan dan ketakwaan korban serta mendorong untuk menjalankan ibadah menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu;


3.  Menyarankan pemecahan masalah kekerasan dalam rumah tangga menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu;


4.   Memberikan pemahaman mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan.


 


B. Hambatan yang dihadapi dalam pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.


            Hambatan dalam proses pemulihan korban KDRT disebabkan oleh beberapa aspek yang datang dari korban sendiri maupun faktor pendukung lainnya. Hambatan tersebut menyebabkan korban sedikit terhambat dalam pemulihan dan bahkan sama sekali tidak mendapatkan pemulihan. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pemulihan korban KDRT adalah:


1.   Hambatan dalam hal pemulihan datang dari korban itu sendiri, karena biasanya korban tampil sebagai perempuan yang sangat pasif, menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan, sangat emosional (labil, banyak menangis, dan histeris), bahkan sangat susah untuk diajak berkomunikasi dan terpaku pada pemikiran-pemikirannya sendiri, sehingga memerlukan waktu yang lama dalam proses pemulihan korban, karena dari korban sendiri terkesan  menutup diri dan tidak bisa berbagi mengenai masalah dan apa yang terjadi padanya.   


2.   Adanya proses peradilan terhadap pelaku yang dalam hal ini adalah suaminya, korban merasa bersalah sehingga suaminya harus mengalami hal tersebut.


3.   Korban tidak mengetahui tempat mana yang harus dia datangi apabila mengalami KDRT. Pusat krisis terpadu yang ada kurang disosialisasiakan sehingga fungsinya tidak berjalan dengan baik. Prinsip kerja krisis terpadu adalah menerima dan menatalaksana para korban kekerasan secara terpadu dan sekaligus diharapkan dapat memperkecil trauma psikis dan luka fisik dapat segera ditangani secara professional.  


4.   Pada korban yang mengalami kekerasan psikis yang menyebabkan mengalami trauma dan diharuskan melakukan konseling, ada rasa malu dari korban karena dalam masyarakat Indonesia bahwa seseorang yang rutin melakukan koseling kejiwaan dan menemui psikolog, masyarakat menganggap mereka gila.


5.   Sikap masyarakat yang masih acuh tak acuh terhadap KDRT, itu bisa menjadi kendala dalam pemulihan korban. Masyarakat dalam hal ini adalah orang terdekat seperti tetangga, dapat menjadi pendukung korban dalam hal yang dilakukannya. Apabila tetangga sudah membuat korban tidak nyaman yang mengakibatkan korban tidak melakukan pelaporan sehingga tidak dia sadari adanya KDRT. Tidak akan ada pemulihan apabila tidak ada pelaporan, terkecuali korban mendatangi psikolog secara sukarela.     


            Apabila semua kendala pemulihan tersebut di atas tidak segera diatasi dan mendapatkan pemecahannya maka akan berdampak pada korban. Keterlambatan pemulihan akan menyebabkan korban mengalami tiga kali menjadi korban, yaitu:


1.   Menjadi korban suatu kejahatan;


2.   Menjadi korban dari stigmatisasi masyarakat, hal ini sering terjadi pada istri korban KDRT;


3.   Menjadi korban sistem peradilan pidana.


 


C. Dampak bila korban tidak melakukan pelaporan dan tidak mendapat pemulihan


1.   Penyebab korban tidak melakukan pelaporan


            Dalam kasus KDRT korban yang mau melaporkan kasusnya ke pihak kepolisian masih sangat minim. Masih minimnya atau masih sedikitnya keinginan dari korban KDRT untuk menempuh proses hukum atas kekerasan yang dialaminya. Banyak korban KDRT tidak melakukan pelaporan yang menyebabkan korban tidak mendapatkan hak terutama dalam hal pemulihan terhadap luka yang diderita. Berkaitan dengan hal tersebut  Achie S. Luhulima berpendapat bahwa penyebab korban tidak melakukan pelaporan akan adanya KDRT adalah:


a.       Korban merasa tidak mendapat dukungan dari masyarakat terhadap masalah yang dihadapi. Masyarakat sering enggan bahkan takut dipersalahkan bila mencampuri urusan keluarga orang lain, karena itu, sulit menemukan dukungan yang dapat membantu. Ditambah korban sendiri menganggap apa yang terjadi padanya adalah urusan keluarga atau pribadinya sendiri.


b.      Korban merasa yakin bahwa suaminya akan berubah. Korban mempercayai suaminya pada dasarnya adalah orang baik, bahwa kekasarannya merupakan respons terhadap stress dan tekanan hidup, dan korban percaya waktu akan mengubah semuanya menjadi lebih baik. Mekanisme pertahanan yang diambil korban membuatnya mengingkari kenyataan yang ada dan membuatnya tetap tinggal bersama suami, dengan harapan segalanya akan berubah menjadi lebih baik, sehingga korban tidak melakukan pelaporan.


c.       Kesulitan ekonomi, korban sepenuhnya bergantung kepada suami untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan hidup anak-anak. Akibatnya korban tidak melihat alternatif lain untuk dapat bertahan secara ekonomi.


d.      Korban merasa khawatir tidak dapat membesarkan anak dengan baik tanpa kehadiran suami sebagai figur ayah dan pembimbing dalam keluarga. Ditambah dengan keyakinan korban bahwa keluarga dengan orangtua lengkap dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan anak.


e.       Korban yakin apabila ia melakukan pelaporan adanya KDRT itu akan merusak citra diri, karena korban menganggap masyarakat malah akan menyalahkan korban karena menjadi istri yang tidak baik sehingga korban berhak mendapat pukulan dari pelaku.   


f.        Adanya ketakutan korban seandainya pelaku dihukum bagaimana dengan anak-anak mereka yang nantinya diejek oleh teman-temannya dengan mengatakan “bapaknya adalah penjahat”;


g.       Korban khawatir jika pelaku dihukum maka siapa nantinya yang akan membiayai kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anak mereka, korban juga ketakutan seandainya pelaku dihukum penjara maka sekeluarnya pelaku dari tahanan akan “membalas dendam” kepada korban.


h.       Kekhawatiran korban akan proses hukum dan sistem hukum yang tidak berpihak kepada korban sehingga pada akhirnya korban justru malah terombang-ambing oleh proses hukum yang tidak jelas dan berlarut-larut. Selain itu, korban juga enggan melalui proses hukum yang memang memerlukan waktu cukup panjang atau lama untuk menyelesaikan kasusnya.


i.         Ketidaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadap dirinya merupakan suatu bentuk KDRT.


j.        Korban merasa berkewajiban melindungi nama baik keluarganya, terutama yang melakukan kekerasan adalah suaminya sendiri.


                  Semua alasan yang dikemukakan oleh korban sehingga tidak melakukan pelaporan adanya KDRT akan berdampak pada proses peradilan terhadap pelaku kekerasan yang akan terus bebas melakukan kekerasan baik terhadap istri ataupun anggota keluarga lainnya, tanpa takut akan sanksi yang dijatuhkan. Dengan tidak melakukan pelaporan adanya kekerasan maka  angka dari “The dark number of violent crime against women“ akan selalu membayangi dan menakutkan kaum perempuan, ditambah dengan sikap dan prilaku masyarakat yang kurang mendukung. Masyarakat masih beranggapan bahwa masalah keluarga sebaiknya diselesaikan oleh keluarga itu sendiri.  


 


2.   Dampak kesehatan yang timbul apabila korban tidak mendapatkan pemulihan


KDRT baik berupa kekerasan fisik, psikis dapat mengakibatkan dampak kesehatan yang berat apabila korban tidak melaporkan sebagai akibat “kepasrahan” dan tidak mendapat pemulihan.


 


a.   Luka psikis


Menurut Yul Iskandar apabila korban kekerasan pikis tidak mendapat pemulihan, maka korban akan mengalami [60]:


1)      Depresi


Perbedaan gejala-gejala depresi yang terlihat dari keluhan korban, yang utama pada mulanya pada gangguan emosional, yaitu berbagai perasaan seperti perasaan tidak enak, jatuh (down) dan tertekan, tidak berguna, putus asa, serta rasa bersalah dan berdosa. Lebih lanjut timbul perasaan cemas yang ditandai oleh perasaan kuatir dan tegang . Pada taraf lanjut, berbagai gangguan muncul, seperti tidak dapat tidur atau insomnia, sakit kepala atau pusing , berdebar-debar, dan sesak napas. Pada korban yang mengalami depresi akibat kekerasan yang alami minimal terdapat tiga kelompok gejala yaitu:


                        a)   Gejala insomnia


Dua hal yang paling mendasar yang selalu dilakukan oleh manusia adalah makan dan tidur. Secara garis besar tidur yang baik adalah tidur yang cukup jumlahnya, pada korban yang mengalami depresi gangguan tidur cukup khas di antaranya sebagai berikut:


(1)  Tidur tidak dalam dan mudah terbangun, korban mudah terbangun oleh suara-suara yang berisik atau keadaan lain yang mudah mengganggu tidur korban.


(2) Tidur dengan banyak mimpi, pada korban yang mengalami depresi biasanya mimpi berupa hal yang menakutkan, mimpi berkelahi, korban sering bermimpi bertemu dengan orang mati, atau bertemu dengan orang yang sudah lama tak mereka temui.


(3) Sering terbangun dan sukar tidur kembali, korban sering terbangun sulit untuk tidur kembali. Yang diingat oleh korban bukan tidurnya tetapi terbangunnya yang terus menerus yang sangat melelahkan menjadikan korban mudah marah dan tertekan.


(4)  Sangat sulit untuk tidur, waktu yang dibutuhkan untuk tidur pada orang sehat dan normal adalah 0-10 menit. Sedangkan pada korban yang menderita depresi waktu yang dibutuhkan biasanya lebih lama antara 30-150 menit. Dengan indikasi korban menunggu dengan gelisah untuk dapat tidur.


(5) Lesu setelah bangun, fungsi tidur adalah menghilangkan kelelahan dan memperbaiki jaringan yang rusak. Pada korban dengan gangguan depresi akan timbul perasan lelah dan malas untuk melakukan sesuatu. Biasanya akan ada perbaikan pada siang hari tetapi pada waktu malam tiba, korban akan akan lesu kembali.   


 


b)   Gejala cemas


Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang akan menemukan dalam keadaan cemas, takut, dan mudah tersinggung. Berbeda dengan korban gangguan tersebut terjadi dalam waktu yang lama dengan keadaan yang sangat menonjol, yang akan mengganggu aktifitas korban sehari-hari. Berbagai gejala yang akan timbul dalam serangan cemas berupa:


(1)  Cemas


                        Keadaan cemas dapat terjadi dalam berbagai bentuk, ada yang mengeluh terus menerus, ada yang cemas menghadapi sesuatu dan memikirkan sesuatu. Rasa cemas akan ditambah dengan rasa khawatir yang berlebihan. Pada tingkat lanjut rasa cemas akan berubah menjadi rasa takut tanpa penyebab yang pasti.


                              (2)  Stress


                        Korban mengeluh bahwa hidupnya penuh dengan dengan tekanan yang selalu tegang dan tidak dapat santai. Korban tidak dapat secara pasti menyebutkan apa sebenarnya penyebab ketegangan itu. Akibat adanya stress korban selalu tak dapat berhasil dalam melakukan sesuatu, tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya, bukan tidak mampu tetapi karena stress yang menghambat semua yang dilakukan tidak dapat diselesaikan secara optimal.   


                  (3) Gangguan organ tubuh


(a)  Gangguan pada organ jantung, sering pingsan, sesak napas, dada seperti tersumbat, atau perasaan tercekik, napas terengah-engah, tekanan darah dan denyut nadi tinggi.


(b)  Gangguan pencernaan, mulut kering, sulit menelan, perut kembung, pencernaan tidak beres, perut terasa panas seperti terbakar, mulut terasa asam, mual ingin muntah.


(c) Sakit kepala yang hebat, penglihatan kabur, kelopak mata bergetar, keringat dingin pada telapak tangan, jari-jari gemetar. 


c)   Gejala gangguan perasaan (mood)


(1) Sulit untuk berkomunikasi secara emosional dengan orang lain, karena itu korban lebih sering menarik diri dari lingkungan, menjauhkan diri dan tidak mau bergaul bahkan sering menyendiri. Sepanjang hari dia merasakan duka dan kesedihan tanpa suatu hal yang jelas.


(2) Tidak bisa menikmati kesenangan yang ada dalam hidup, mulai tidak berminat pada pada berbagai hal.


(3) Gangguan konsentrasi, sulit untuk memusatkan pikiran atau sulit mencerna semua yang korban baca.


(4) Gejala bunuh diri, pikiran untuk bunuh diri selalu ada dalam benak korban walaupun akan selalu mencoba untuk ditolak dengan berbagai alasan dan selama akal sehat masih ada dan pikiran itu akan tersimpan untuk sementara waktu.   


2)   Post traumatic syndrome stress (PTSS), stress paska trauma.


                                    Menurut Gede Made Swardhana ada beberapa hal yang menyebabkannya:[61]


1)      The belief in personal invulnerability, yaitu tidak percaya bahwa dirinya sudah menjadi korban. Walaupun sebelumnya telah banyak terjadi kejahatan semacam itu, tidak pernah terpikir bahwa kejadian tersebut akan menimpa dirinya. Hal ini menyebabkan kecemasan yang mendalam. Persepsi yang selalu muncul adalah dia mudah diserang dalam segala hal.


2)      The world as meaningful, apa pun yang terjadi di dunia ini adalah sesuatu yang teratur dan komprehensif. Maksudnya, kalau kita berbuat baik dan hati-hati niscaya kita akan terhindar dari penderitaan, tetapi ternyata apa yang diperkirakan tersebut tidak berjalan seperti itu, walaupun dia telah berbuat baik dan hati-hati ternyata dirinya tetap menjadi korban.


3)      Positive self-perception, manusia selalu berusaha menjaga derajat dirinya, tetapi pengalaman menjadi korban membuat mereka memiliki gambaran negatif. Dirinya adalah seorang yang lemah, tak berdaya dan berguna lagi.


b.   Luka fisik


Menurut Achie S. Luhulima apabila korban kekerasan fisik tidak mendapat penanganan medis yang profesional akan menimbulkan dampak dan tidak berfungsinya anggota tubuh bahkan gangguan pada organ tubuh bagian dalam yang sulit diketahui secara langsung tanpa pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh, korban yang tidak mendapatkan pemulihan akan mengalami:


1)      Luka akibat benda tumpul


a)      Buta, akibat pemukulan terus menerus pada bagian mata;


b)      Tuli, akibat pecahnya gendang telinga yang disebabkan oleh pukulan tunggal yang keras pada telinga.


c)      Pada kepala, kekerasan tumpul dengan intensitas yang terus menerus dapat mengakibatkan gangguan pada susunan saraf pusat, yang apabila tidak mendapat penanganan korban akan mengalami kelumpuhan.


d)      Pada dada, kerusakan organ tubuh bagian dalam menyebabkan terganggunya dan tidak berfungsinya organ tubuh.


e)      Kelumpuhan, akibat tidak ditanganinya cedera pada tulang baik patah tulang maupun cerai sendi.


2)   Luka yang disebabkan oleh benda cair, seperti air panas, cairan kimia dapat mengakibatkan cedera kulit dan rusaknya jaringan kulit secara permanen. Luka bakar dapat membuat malu korban untuk berhadapan dengan masyarakat, ditambah apabila luka tersebut terdapat di muka.


 


 


 








[60] Yul Iskandar, Op.Cit., Hlm 33-41



[61] Gede Made Swardhana, Upaya Melindungi Perempuan, Harian Kompas 14 Januari 2006

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar